Berita Hukum Legalitas Terbaru
Pajak  

Simak Terjadinya Pemalsuan Pajak di Era Sekarang

Ilustrasi Pemalsuan Pajak di Era Sekarang
Sumber foto: Hukumonline

Sah!- Pada era perkembangan teknologi yang pesat seperti sekarang mendorong individu semakin marak melakukan pemalsuan terhadap bukti pembayaran pajak. Tentunya terdapat sanksi yang diberikan kepada para oknum yang melakukan tindakan ini sebab telah tercantum jelas larangannya di undang-undang. 

Berdasarkan pada Pasal 1 ayat (14) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 menjelaskan mengenai pengertian Surat Setoran Pajak (SSP). 

Bukti pembayaran pajak atau disebut dengan SSP merupakan bentuk pembayaran pajak dengan wujud formulir atau bentuk lain yang mana ditujukan kepada kas negara melalui proses pembayaran di suatu tempat pembayaran kepada kementerian keuangan.

Warga Negara Indonesia (WNI) yang merupakan wajib pajak berkewajiban untuk melaksanakan pembayaran pajak kepada negara. 

Melalui Undang-Undang Peradilan Pajak adalah salah satu bentuk atau upaya perlindungan hukum terkait kasus pajak di lapangan. Namun, pada faktanya masih banyak ditemukan kasus-kasus penggelapan pajak di era sekarang.

R Soesilo menilik Pasal 263 KUHP mengartikan definisi surat itu sendiri. Menurutnya surat adalah segala wujud baik wujudnya tertulis maupun cetakan yang dipergunakan untuk kepentingan keterangan suatu kejadian.

Landasan hukum daripada Pasal 263 KUHP benar melihat bahwa SSP yang dibahas dalam konteks ini adalah surat yang diperuntukkan untuk keterangan membayar pajak.

Namun, berdasarkan asas Lex Specialis Derogat Lex Generalis yang berarti aturan yang lebih khusus mengesampingkan aturan hukum yang umum.

Dalam Pasal 39A Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan merupakan salah satu peraturan yang lebih khusus sifatnya untuk membahas mengenai pajak.

Maka hingga saat ini aturan yang lebih umum yakni Pasal 372 KUHP belum bisa memberikan perhatian lebih sehingga para pelaku kasus penggelapan susah dikenai pasal ini sebab jangkauan dari pasal Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 memberikan perhatian lebih terhadap penerimaan negara.

Pasal 39A huruf (a) tersebut berbunyi “setiap orang menerbitkan dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun serta denda  pemotongan pajak”.

Adapun dasar hukum yang lain sebagai wujud perlindungan hukum atas maraknya kasus penggelapan pajak di lapangan ialah Pasal 372 KUHP yang berbunyi “barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelepan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak Sembilan ratus rupiah”.

Dalam pasal tersebut memang terdapat unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur subjektif merupakan unsur yang ada pada diri pelaku yaitu “usnur sengaja”.

Adapun unsur objektifnya terdiri atas “barang siapa”, “menguasasi secara melawan hukum”, “suatu benda”, “sebagian atau seluruhnya”, dan “berada padanya bukan karena kejahatan”. 

KUHP juga mengatur mengenai pemalsuan surat yang tercantum dalam Pasal 264 yang mana hukumannya ialah 8 tahun apabila dilakukan:

  1. pemalsuan surat pada akta otentik;
  2. surat hutang atau sertifikat hutang dari sesuatu negara atau bagiannya ataupun dari suatu lembaga umum;
  3. surat sero atau hutang atau sertifikat sero atau hutang dari suatu perkumpulan, yayasan, perseroan, atau maskapai;
  4. talon, tanda bukti dividen atau bunga dari salah satu surat yang dijelaskan dalam dua atau tiga, atau pun tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat itu;
  5. dan surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan untuk diedarkan.

Lebih lanjut pada ayat (2) dijelaskan bahwa pemalsuan terhadap surat-surat tersebut sehingga terlihat seolah betul padahal telah dipalsukan maka dijerat dengan pidana yang sama. 

 

Meningat asas “Lex Specialis Derogat Lex Generalis” mengartikan bahwa sepatutnya para penegak hukum dapat merujuk pada Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yakni Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tepatnya secara limitatif tertuang pada Pasal 38 sampai dengan Pasal 43.

 

Pasal 38 undang-undang tersebut mengatur mengenai perilaku penggelapan pajak disebabkan karena kealpaan yang berbunyi:

“Setiap orang yang karena kealpaannya:

a. Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;

b. menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dan perbuatan tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A, didenda paling sedikit 1 (satu) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 1 (satu) tahun.”

 

Lebih lanjut dalam Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomr 28 Tahun 2007 berbunyi:

“Setiap orang yang dengan sengaja: 

a) tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak; 

b) menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak; 

c) tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; 

d) menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap;

e) menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29; 

f) memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolaholah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya; 

g) tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain; 

h) tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi online di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (11); atau 

i) tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.”

 

Regulasi hukum sendiri adalah sebuah agregasi dari kumpulan aturan-aturan hukum yang lain. Sistematika hukum saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya yang diintegrasikan dalam pokok-pokok yuridis seperti pengertian hukum, asas, dan peraturannya. 

 

Demikianlah artikel yang membahas mengenai perkara pemalsuan pajak yang sangat marak terjadi di era perkembangan teknologi seperti sekarang. 

Sah!- juga menyediakan beragam artikel lainnya yang dapat Anda akses melaui laman Sah.co.id. Tentunya banyak artikel yang membawa sejuta informasi bermanfaat yang dapat dibaca.

 

Source:

https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexprivatum/article/view/54743 

https://j-innovative.org/index.php/Innovative/article/view/7918 

https://j-innovative.org/index.php/Innovative/article/view/7918/5553 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *