Sah! – Pandemi Covid-19 berdampak hampir di seluruh kegiatan usaha, untuk meminimalisasinya pemerintah mengadakan kebijakan restrukturisasi kredit pada masa pandemi bagi para pelaku usaha.
Namun, hal tersebut telah berlangsung lama, perlahan-lahan perekonomian Indonesia telah bangkit. Maka dari itu, pemerintah, khususnya OJK tidak akan memperpanjang kembali kebijakan tersebut. Akan tetapi, apakah hal ini justru memberatkan pelaku usaha?
Kebijakan ini berawal dari adanya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 11 Tahun 2020 yang mengatur bahwa adanya ketentuan restrukturisasi kredit terhadap pelaku usaha dalam masa pandemi covid-19.
Restrukturisasi kredit merupakan keringanan terhadap pembayaran utang di bank ataupun perusahaan pembiayaan. Keringanan tersebut dapat berbentuk penurunan suku bunga, jangka waktu diperpanjang, serta tunggakan bunga yang dikurangkan.
Restrukturisasi ini sebelumnya terus diperpanjang oleh OJK, tetapi pada akhirnya OJK telah memastikan bahwa akan mengakhiri kebijakan ini pada Maret 2024.
Berdasarkan Konferensi Pers RDKB Februrari 2024 lalu, OJK mengungkapkan bahwa nilai dari restrukturisasi kredit Covid di perbankan telah melandai. Di saat yang sama, non-performing loan atau rasio dari kredit bermasalah meningkat.
Berdasarkan data OJK tersebut, jumlah dari kredit ini telah tersisa Rp251,21 triliun per Januari 2024, angka ini dinilai turun sebesar Rp14,57 triliun jika diperbandingkan dengan Desember 2023 sebesar Rp265,78 triliun.
Masih berdasarkan data tersebut, NPL meningkat bahwa pada Januari 2024 terdapat di posisi 0,79%. Angka ini naik jika dibandingkan dengan periode sebelumnya pada Desember 2023, yang sebelumnya 11,26% atau naik sebesar 0,71%.
Lanjutnya, NPL Gross atau rasio kredit bermasalah juga meningkat mencapai 2,35% per Januari 2024 yang sebelumnya 2,19%. Hal ini menandakan bahwa dalam periode 1 bulan telah terjadi peningkatan 7,37% berdasarkan rasio.
Tercatat bahwa nasabah kredit tersebut telah menurun dari September 2023 bahwa pada Desember 2023 jumlah nasabah terdapat 1,22 juta nasabah. Sementara itu, pada September 2023 terdapat 1,32 juta nasabah. Angka tersebut berkurang 100.000 nasabah.
Selain itu, jumlah kredit dengan kebijakan ini yang bersifat targeted, yaitu berupa segmen, sektor, industri, ataupun daerah tertentu yang membutuhkan periode tambahan selama satu tahun hingga 31 Maret 2024 terdapat 43,39% dari total jumlah kredit restrukturisasi Covid.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, mengungkapkan bahwa walaupun kebijakan tersebut tidak akan diperpanjang, perkembangan industri perbankan akan terus berlanjut yang berkembang secara positif.
Pada awalnya, restrukturisasi kredit Covid tersebut direncanakan untuk diakhiri pada Maret 2023, tetapi OJK memutuskan untuk memperpanjang kebijakan ini pada 3 segmen dan wilayah tertentu hingga Maret 2024.
Tiga segmen tersebut berupa UMKM; penyediaan akomodasi makan dan minum; serta beberapa industri yang telah menyediakan lapangan kerja yang masif. Berdasarkan wilayah, OJK mempertimbangkan Provinsi Bali untuk diperpanjang hingga Maret 2024 ini.
Pada Rapat Dewan Komisioner (RDK) 4 Desember 2023 lalu, ia juga mengatakan bahwa alasan tidak diperpanjangnya kebijakan ini salah satunya adalah Indonesia merupakan satu-satunya negara yang masih mempertahankan kebijakan ini.
Dengan berakhirnya kebijakan ini, Dian memperingatkan kepada bank bahwa harus terus waspada untuk menghadapi terjadinya perkembangan kondisi ekonomi secara nasional dan internasional yang mungkin akan berdampak pada kegiatan usaha perbankan.
Ia mengungkapkan bahwa pihak OJK akan terus melaksanakan pengawasan sebagai bentuk peringatan terhadap bank untuk tetap berhati-hati pada perkembangan ekonomi makro yang ada.
Menurutnya, skala Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) perbankan terdapat di atas 56%, tetapi banyak banyak juga yang tercatat telah di atas 60%. Artinya, perbankan telah menyiapkan cadangan yang cukup untuk digunakan ketika restrukturisasi kredit ini dicabut.
Tercatat terdapat jumlah kredit yang tumbuh pada awal tahun sebesar 11,83% yoy yang didasari atas Desember 2023 sebesar 10,83% menjadi Rp7.058 triliun dan permodalannya berada di lebel 27,54% per Januari 2024.
Rasio dari Alat Likuid/Non-Core Deposit (AL/NCD) dan Alat Likuid/Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) telah naik mencapai 123,42% dan 27,79%. Angka ini telah jauh dari angka threshold yang masing-masing hal tersebut sejumlah 50% dan 10%.
Maka dari itu, menurutnya, terhentinya kebijakan ini tidak ada yang perlu dikhawatirkan karena tidak akan ada problematika terhadap kondisi perbankan kita karena akan tetap solid.
Berdasarkan data OJK sebelumnya, terjadi penurunan jumlah penggunaan kredit tersebut sehingga menurut Dian hal ini akan berdampak positif terhadap rasio loan at risk sehingga angka tersebut menjadi 11,81% yang sebelumnya sejumlah 12,07%.
Ia mengatakan bahwa apabila kebijakan ini telah dicabut, perbankan tetap dapat memberikan program kreditnya masing-masing berdasarkan ketentuan normal.
PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BRI) telah mempersiapkan untuk menghadapi pencabutan kebijakan ini. Direktur Utama BRI, Sunarso, mengungkapkan bahwa BRI telah melakukan pencatatan penyusutan nilai kredit terdampak covid yang telah direstrukturisasi.
BRI telah menyiapkan cadangan yang cukup, dengan NPL Coverage sebesar 215,27% per Desember 2023, angka ini merupakan dua kali lebih besar dari yang mereka targetkan sehingga NPL-nya berada di level 2,95% dan dinilai terkendali.
Selain itu, BRI juga melakukan selective growth untuk meningkatkan kekuatan risk management. Dengan membentuk Regional risk management di setiap wilayah sebagai bentuk meningkatkan kualitas kredit dengan me-monitoring pada portofolio kredit.
BRI juga fokus terhadap penguatan kapabilitas retail banking dengan adanya aspirasi tambahan, yakni optimalisasi kontribusi perusahaan anak. Berfokus juga pada pelaku UMKM, khususnya pada ulta mikro.
Maka dari itu, mereka meningkatkan kinerja dan strategi Holding UMi sebagai bentuk prioritas utama dalam sumber pertumbuhan baru. BRI juga telah memastikan cukupnya modal terhadap pertumbuhan bisnis secara berkelanjutan pada tahun 2024 ini.
Sementara itu, PT Bank Central Asia Tbk (BCA) juga mengungkapkan bahwa portofolio kredit restrukturisasi tersebut turun beriringan dengan pemulihan bisnis para debitur. Total restrukturisasi kredit BCA telah didominasi oleh kategori lancar atau Kolektabilitas 1.
LAR BCA juga menurun secara konsisten hingga mencapai satu digit, yaitu sebesar 6,9%. NPL BCA juga terpantau stabil berada di angka 1,9%. CKPN BCA pun juga memadai walaupun kualitas kredit BCA juga membaik.
BCA akan tetap optimis terhadap penyaluran kredit walaupun kebijakan ini akan berakhir dengan pertumbuhan ekonomi positif dan juga likuiditas yang solid. Selain itu, BCA juga memperhatikan prinsip kehati-hatian sehingga kualitas kredit tetap aman.
Sementara itu, menurut ekonomi senior INDEF, Aviliani, diperlukan upaya penyelesaian sisa restrukturisasi kredit antara debitur dan perbankan. Apabila para debitur tidak mampu bayar akan ada negosiasi, apakah diperlukan penjualan aset untuk membayar utang dan lainnya.
Restrukturisasi kredit yang dilakukan oleh bank setelah kebijakan ini dicabut terdapat 2 cara menurutnya, yakni restrukturisasi jangka yang lebih panjang serta melakukan pembantuan terhadap debitur untuk menyelesaikan permasalahan kredit.
Menurutnya, kesiapan debitur merupakan hal yang lebih penting daripada kesiapan bank karena sudah merencanakan kedepannya seperti apa.
Selain itu, upaya lain menurutnya adalah dapat berupa penjualan saham dari investor atau perusahaan lain dengan debitur yang masih mampu dan historis kredit yang baik sehingga utangnya dapat terbayarkan.
Menurut Aviliani, dengan pencabutan kebijakan ini tidak akan membuat perekonomian negara dan perbankan jadi turun karena bank telah memiliki pencadangannya sendiri sehingga bank dinilai lebih siap menghadapi situasi ini.
Ia melanjutkan bahwa dengan kondisi normal seperti sekarang memang sudah sepatutnya pemerintah tidak perlu memberikan bantuan semacam ini, tetapi apabila ingin ada bantuan dapat melalui PPA.
PPA merupakan perusahaan milik pemerintah yang dapat mengalihkan aset debitur dari bank yang pernah bermasalah sehingga dapat terbayarkan utang debitur kepada bank dan debitur tetap dapat berusaha kembali.
Di sisi lain, pengamat perbankan, Paul Sutaryono, memberikan pendapatnya bahwa cadangan bank tersebut harus lebih tinggi setelah restrukturisasi berakhir karena belum semua nasabah sudah pulih, terutama para pelaku UMKM.
Menurutnya, OJK perlu memperpanjang kembali kebijakan ini karena masih terdapat nasabah yang terdampak pandemi.
Ia menambahkan bahwa Indonesia tidak perlu terpengaruh oleh negara lain yang sudah mencabut kebijakan ini karena terdapat UMKM yang mampu membuka lapangan pekerjaan. Kebijakan ini penting untuk dipertimbangkan kembali karena dapat menurunkan pengangguran.
Senior Vice President Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), Trioksa Siahaan, mengungkapkan bahwa berakhirnya kebijakan ini bank wajib lebih siap untuk menanggulanginya dengan menerapkan prinsip kehati-hatian dalam penyaluran kredit.
Sah! Menyediakan layanan berupa jasa legalitas usaha sehingga tidak perlu khawatir dalam menjalankan usahanya termasuk para pelaku UMKM.
Untuk yang hendak mendirikan suatu usaha dapat berkonsultasi dengan menghubungi WA 085173007406 atau mengunjungi laman sah.co.id
Source:
https://bisnis.tempo.co/read/1840708/restrukturisasi-covid-berakhir-maret-bca-sesuaikan-pencadangan
Keywords: Restrukturisasi Kredit Covid, OJK, UMKM