Sah! – Manusia merupakan mahluk individu dan juga bisa dikatakan sebagai mahluk sosial, terkadang juga membutuhkan manusia lain.
Manusia tidak perlu mengandalkan kekuatan sendiri akan tetapi dapat mengandalkan manusia lain dalam hal-hal tertentu.
Manusia sebagai mahkluk sosial (zoon politicon) akan selalu membutuhkan orang lain untuk menjalankan kehidupannya sehari-hari, seperti laki-laki yang membutuhkan perempuan sebagai pasangan hidup maupun sebaliknya untuk membentuk suatu keluarga.
Secara naluriah sepasang laki-laki dan perempuan membentuk keluarga untuk melanjutkan keturunan atau melahirkan anak-anak.
Sebagaimana dijelaskan dalam UU no 1 tahun 1974, perkawinan ialah ikatan lahir batin dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Perkawinan juga dikemal dengan sebutan nikah yang mana merupakan bentuk pergaulan masyarakat yang mulia yang berujung pada kehidupan berumah tangga.
Kehidupan berumah tangga tidaklah selalu harmonis pasti akan ada lika liku ataupun rintangan yang harus dihadapi.
Memelihara keseimbangan hidup antara suami dan isteri bukanlah perkara mudah, bisa saja terkadang salah satu pasangan suami/isteri membutuhkan pinjaman uang sehingga mereka berhutang demi kelangsungan keluarganya atau bisa saja diantara suami isteri meminjam uang untuk kepentingan pribadi akan tetapi melepaskan tanggung jawab pelunasan hutang mereka dan melimpahkannya kepada pasangan mereka yang tidak mengerti akan hal tersebut, bahkan tidak mengetahui untuk apa uang pinjaman itu digunakan.
Dalam hal ini membuka pintu menuju langkah terakhir yang disebut perceraian.
Setiap orang setidaknya menganggap perkawinan merupakan hal yang krusial dan sakral sehingga menganggap hal yang tabu atau terlarang, bahkan terdapat ajaran di salah satu agama mengenai larangan perceraian.
Faktor-faktor kebanyakan yang menjadi penyebab perceraian, sebagai berikut:
- Dikarenakan poligami yang tidak sehat;
- Krisis ahklak;
- Kawin paksa;
- Cemburu karena pasangan berselingkuh;
- Faktor ekonomi;
- Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Permasalahan ekonomi menjadi faktor kebanyakan pasangan di Indonesia mengajukan yang namanya perceraian.
Dengan adanya hutang tidak hanya berdampak pada keharmonisan sebuah keluarga namun juga kehancuran dalam silaturahmi keluarga.
Memang hutang bukan menjadi bagian dari salah satu alasan terjadinya perceraian akan tetapi hal itu dipengaruhi dengan faktor ekonomi yang lemah.
Hutang dalam perkawinan disebut dengan hutang yang terjadi demi keperluan bersama.
Terjadinya hutang-hutang dalam perkawinan dapat dikategorikan menjadi beban bersama, karena hutang-hutang dalam perkawinan biasanya ialah hutang-hutang yang dipergunakan untuk kepentingan bersama atau atas kesepakatan bersama, sehingga menjadi beban dan tanggung jawab bersama.
Dalam pelunasan hutang yang dimiliki oleh pasangan suami atau isteri yang sudah bercerai harus ditinjau terlebih dahulu mengenai jenis hutangnya, apakah perjanjian hutangnya ditanda tangani oleh suami saja atau isteri saja, atau oleh keduanya.
Perkawinan yang telah putus karena perceraian di hadapan hakim, maka para pihak dapat melakukan pembagian harta perkawinan yang diperoleh yaitu dengan mengajukan gugatan ke pengadilan dimana hakim akan memutus perkara pembagian harta perkawinan.
Terdapat juga opsi dengan membuat pembagian harta bersama termasuk hutang dihadapan notaris atas kesepakatan bersama. Ini akan lebih meringankan biaya dalam persidangan.
Dalam hal pembagian harta di pengadilan terdapat juga pembagian harta beban-beban seperti hutang di dalam nya.
Kewajiban pelunasan merupakan sesuatu yang mengenai hubungan internal antara suami dengan isteri yang menunjukkan pada siapakah yang harus melunasi hutang tersebut atau bagian siapakah yang harus dikurangi untuk melunasi hutang tersebut.
Soal kewajiban pelunasan akan muncul apabila diadakan pembagian harta kekayaan antara suami dengan isteri.
Pembagian hutang menurut Hukum Positif yang ada di Indonesia
1. Menurut Burgerlijk Wetboek (BW)
Soal pembagian harta perkawinan akan dibagi sama rata sesuai dengan perjanjian kawin itu sendiri. Penyelesaian sengketa harta kekayaan perkawinan diselesaikan di Pengadilan Negeri jika hukum yang digunakan ialah hukum perdata dan adat.
Hutang dalam masa perkawinan dapat dibedakan menjadi dua, dapat dilihat sebagai berikut:
- Hutang Bersama/Persatuan yaitu semua pengeluaran yang di buat oleh suami ataupun istri atau secara bersama-sama untuk keperluan kehidupan rumah tangga, termasuk pengeluaran sehari-hari.
- Hutang pribadi merupakan hutang yang melekat pada diri masing-masing pihak yang tidak dimasukkan dalam harta persatuan.Kewajiban pelunasan hutangpiutang yang terjadi pada masa masih terikat perkawinan antara tergugat dan penggugat harus dilihat juga dari segi kepentingan terjadinya hutang-piutang tersebut dilakukan, apakah untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan keluarga, atau kepentingan pribadi individu dari suami atau istri.
Bagi yang menganut Hukum Perdata pada umumnya menganggap segala hutang yang dimilki oleh salah satu pasangan ialah hutang bersama/persatuan, akan tetapi dilain sisi ada yang menganggap harus dilihat terlebih dahulu apakah hutang tersebut terdapat kaitannya dengan pemenuhan kehidupan keluarga bersama.
2. Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Kompilasi Hukum Islam telah di atur mengenai pertanggungung jawaban terhadap hutang tersebut dalam Pasal Pasal 93 KHI yang berbunyi:
- Pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau isteri dibebankan pada hartanya masing-masing.
- Pertanggungjawaban utang terhadap utang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga dibebankan kepada harta bersama.
- Bila harta bersama tidak mencukupi untuk bayarkan utang-utang tersebut maka akan dibebankan pada harta suami
- Bila harta suami tidak mencukupi juga maka akan dibebankan pada harta isteri.
Dari uraian dapat diketahui terdapat persamaan antara KHI dengan BW yang mana sama-sama dibebankan bersama dan setiap hutang juga terbagi atas hutang bersama atau pribadi, akan tetapi terdapat perbedaan pula yang mana dalam BW harus ditinjau terlebih dahulu penggunaan hutang tersebut untuk siapa sedangkan dalam KHI apabila pelunasan hutang demi kepentingan bersama belum terpenuhi dengan harta bersama yang dimiliki maka menggunakan harta pribadi dari suami dan apabila belum terpenuhi juga maka menggunakan harta pribadi milik isteri.
Itulah pembahasan terkait dengan Harta Perceraian yang bisa kami berikan, semoga bermanfaat.
Author: Panogu Pakpahan
Editor: Gian Karim Assidiki
Source:
- Sesa Satria Pratama. (2020). Tanggung jawab hutang suami-istri setelah
perceraian (Studi Putusan nomor 143/PDT.G/2013/MS.TTN). Jurnal ilmiah.
Fakultas Hukum : Universitas Mataram. - Julias Muda Prasetya, Suyud Arif, Syarifah Gustiawati .(2022). Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Seseorang Mengajukan Gugatan Cerai di Pengadilan
Agama Cibinong Tahun 2021. Syar’i: Jurnal Bimbingan & Konseling
Keluarga. Volume 5 Nomor 1, 58-71. - Fajriyanti, Nurul. (2021). Terlilit hutang sebagai alasan perceraian (studi
putusan nomor : 187/pdt.g/2019/PA.Prg). Skripsi. Parepare: Institut Agama
Islam Negeri Parepare.