Sah! – Ketentuan waris transgender tidak diatur secara spesifik dalam Hukum Islam, Hal ini menjadi masalah ketika kelompok orang ini meminta hak warisnya. Transgender adalah kondisi ketidakpuasan seseorang pada fisiknya sehingga orang tersebut tampil dan mengubah jenis kelamin yang dimiliki.
Lalu bagaimana ketentuan waris transgender dari Perspektif Hukum Islam?
Salah satu hak-hak dasar sebagai manusia yang dimiliki oleh transgender adalah mendapatkan warisan. Namun yang menjadi pokok permasalahan adalah hukum islam tidak mengatur secara spesifik bagaimana ketentuan waris transgender.
Pengaturan waris diatur dalam Al-Qur’an yaitu Surat An-Nisa (4) ayat 11, ayat 12, dan ayat 176. Dalam ayat tersebut tidak disebutkan bagaimana ketentuan waris transgender.
Penetapan hak dan ketentuan waris transgender ini menimbulkan persoalan yang cukup rumit dalam hukum waris.
Permasalahan ketentuan waris transgender ini masih menjadi perdebatan yang panjang dalam menentukan hak dan bagian transgender dalam waris.
Masalah yang timbul adalah apabila transgender menuntut hak warisnya, sedangkan hal tersebut tidak diatur dengan jelas, apakah haknya masih sama pada saat belum melakukan operasi pergantian kelamin atau sesudahnya.
Dalam Komparasi Hukum Islam pasal 176, dijelaskan bagaimana hak waris yang bagi anak perempuan dan anak laki-laki.
Anak perempuan ditetapkan mendapatkan separuh bagian, bila anak perempuan dua orang atau lebih, mereka bersama-sama mendapatkan dua pertiga bagian warisan.
Apabila anak perempuan bersama anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan.
Perbedaan antara besaran warisan perempuan dan laki-laki dalam hukum waris menjadikan ketentuan waris transgender menjadi penting untuk ditetapkan jumlahnya juga.
Konservatif islam memandang status jenis kelamin transgender berdasarkan jenis kelamin awal sebelum melakukan operasi meskipun telah mendapatkan putusan dari hakim pengadilan.
Dalam hukum islam akibat dari penggantian kelamin yang dilakukan bagi seseorang yang memiliki keadaan kelamin normal atau sempurna dan bertujuan untuk mengubah dari apa yang ditakdirkan dan diciptakan Allah kepadanya dikatakan sebagai perbuatan yang haram, maka identitas diri dari orang yang mengubah jenis kelamin tersebut tetap sama dengan kelamin sebelum operasi dan tidak berubah dari segi hukum.
Maka dari pendapat yang diutarakan oleh Mahmud Syaltut dikatakan bahwa jika seorang wanita yang merubah kelaminnya menjadi pria dengan melakukan operasi penggantian kelamin di dalam Islam kedudukan hukum sebagai pria tidak diakui atau tetap dianggap sebagai wanita seperti jenis kelamin sebelum melakukan operasi, serta tidak akan mendapatkan bagian waris sebagaimana yang diberikan kepada pria pada umumnya yaitu (dua kali dari bagian wanita) hal ini berlaku pula dalam kasus sebaliknya dimana jika seorang pria melakukan penggantian kelamin menjadi seorang wanita, maka kedudukan hukum serta bagian waris yang jatuh terhadapnya tetap berdasarkan atas jenis kelamin sebelumnya yaitu seorang pria.
Bagi pelaku yang melakukan penggantian kelamin, jenis kelamin yang diakui kepadanya tetaplah jenis kelamin yang dimilikinya sebelum melakukan operasi, hal tersebut tertuang dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia pada tanggal 1 Juni 1980 keputusan nomor 2, yang menyatakan bahwa “Orang yang merubah kelaminnya maka kedudukan hukum jenis kelaminnya sama dengan jenis kelamin pertama sebelum melakukan perubahan” dipertegas dengan keputusan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Musyawarah Nasional ke VIII tahun 2010, yang menurut fatwa tersebut karena dalam hukum islam diharamkan untuk ditetapkan sebagai perubahan jenis kelamin, maka kedudukan hukum jenis kelamin orang yang telah melakukan operasi kelamin yang semulanya normal maka identitasnya tetap sama dengan jenis kelamin semula seperti sebelum operasi.
Berlaku pula bagi mereka yang sudah mendapat penetapan pengadilan akan status barunya.
Sedangkan bagi seseorang yang melakukan operasi kelamin dalam rangka dan tujuan untuk memperbaiki, memperjelas serta menyempurnakan jenis kelaminnya atau disebut sebagai Al-Khuntsa, yang disebabkan oleh ketidak sempurnaan bentuk dan atau berkelamin ganda yaitu memiliki kelamin perempuan dan laki-laki, maka kedudukan hukum dari dilakukannya operasi untuk menyempurnakan kelamin tersebut dalam hal kewarisan hukum Islam ditetapkan sesuai dengan jenis kelaminnya setelah melakukan operasi pergantian kelamin, dengan melihat ciri-ciri yang lebih menonjol atau dominan terhadap salah satu jenis kelamin setelah dilaksanakannya operasi penyempurnaan.
Hal ini ditegaskan dalam fatwa MUI tahun 1980, diktum nomor 3 menyatakan bahwa “Seorang khuntsa (banci) yang kelaki-lakiannya lebih jelas boleh disempurnakan kelaki-lakiannya.”
Itulah pembahasan terkait dengan ketentuan waris transgender yang bisa kami berikan, semoga bermanfaat.
Untuk yang hendak mendirikan lembaga/usaha atau mengurus legalitas usaha bisa mengakses laman Sah!, yang menyediakan layanan berupa pengurusan legalitas usaha. Sehingga, tidak perlu khawatir dalam menjalankan aktivitas lembaga/usaha.
Informasi lebih lanjut, bisa menghubungi via pesan instan WhatsApp ke +628562160034.
Source:
- Andiko, Toha, and Iim Fahima. “Perubahan Status Dan Akibat Hukum Pelaku Transgender Terhadap Kewarisan Dalam Perspektif Fikih Empat Mazhab.” Qiyas 5, no. 1 (2020): 7–14.
- Ash Shabah, Musyaffa Amin. “Kedudukan Transgender Dalam Sistem Kewarisan Islam Dan Adat.” Maslahah (Jurnal Hukum Islam dan Perbankan Syariah) 12, no. 1 (2021): 15–25.
- Kasmaja, Sri Sudono Saliro dan Risky. “Studi Komparatif Hak Waris Transgender Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dan Hukum Islam” 4, no. 1 (1384).
- Muh. Taufiqul Karim, Syamsuddin Pasamai & Hasan Kadir. “Akibat Hukum Keputusan Perubahan Jenis Kelamin Oleh Pengadilan Dalam Perspektif Waris Islam.” Journal of Lex Theory 1, no. 2 (2020): 116–128.
- Wafiqoh, I. (2020). Penetapan Kewarisan Bagi Transgender Ditinjau Dari Hukum Islam (Doctoral Dissertation, Universitas Pancasakti Tegal).