Sah! – Secara fundamental, hukum perjanjian memberi kebebasan tinggi ke masyarakat untuk melakukan perjanjian dengan variasi sifatnya selama tidak menentang regulasi.
Suatu perjanjian kerjasama dalam tradisinya cenderung berdiri dalam situasi timbal balik karena di satu sisi membuat seseorang berkewajiban sementara yang lainnya akan menerima prestasi yang telah diwajibkan itu.
Perjanjian dengan batasan yang disebutkan sebelumnya memang bertujuan menyediakan jaminan hukum terhadap keterlibatan para pihak itu sehingga substansi kesepakatan mereka bisa terlaksana semestinya.
Wanprestasi karena Force Majeure
Perjanjian tentu tidak terlepas dari sebuah kenyataan dimana pihak yang berkewajiban atas prestasi (debitur) tidak bisa memenuhinya tepat waktu atau yang dinamakan wanprestasi.
Namun kita tidak boleh salah berpikir sebab sebenarnya tidak semua wanprestasi itu menunjukkan sifat debitur hampa itikad baik. Sebuah wanprestasi juga bisa timbul karena keadaan yang memaksa atau lebih dikenal dengan istilah force majeure. Pengertian force majeure ditarik dari paradigma objektif dan subjektif.
Force majeure secara objektif adalah keadaan dimana debitur tidak mungkin lagi memenuhi perikatan karena adanya tekanan sangat kuat yang menciptakan ketidakmungkinan itu sedangkan paradigma subjektif adalah keadaan dimana tidak terpenuhinya sebuah perikatan karena perihal kesukaran yang bertahap menimpa dan membuat debitur tidak kuat lagi.
Baca juga: Tinjauan Yuridis Perjanjian Kerja Lisan dan Tertulis https://sah.co.id/blog/tinjauan-yuridis-perjanjian-kerja-lisan-dan-tertulis/
Jenis peristiwa Force Majeure
Jenis peristiwa yang menciptakan force majeure tercermin dalam beberapa fenomena seperti situasi perang (kemungkinan bisa menyebabkan hilangnya objek perjanjian karena perampasan tentara musuh), Act of God (keputusan mendadak dan mengikat dari penguasa yang kemungkinan bisa menjadikan substansi perjanjian tidak bisa diatur lebih preferen lagi sesuai pihak di dalamnya), serta tragedi kecelakaan (kapal tenggelam karena ombak besar).
Force majeure selalu merujuk pada kejadian luar perkiraan dan berdampak seorang pihak tidak bisa memenuhi isi perjanjiannya. Keadaan ini sangat tidak diinginkan untuk terjadi tapi ketentuan kemungkinannya juga telah tertulis dalam perjanjian sebelum tahap persetujuan.
Baca juga: Advokat sebagai Solusi Masyarakat https://sah.co.id/blog/advokat-sebagai-solusi-masyarakat/
Kemungkinan saat Force Majeure
Debitur secara otomatis tidak wajib membayar ganti rugi yang ada dan pihak penerima prestasi (kreditur) tidak dibenarkan juga melakukan ancaman hukum karena ketidaknyamanan bersangkutan.
Debitur yang terpaksa wanprestasi karena force majeure dan justru diancam sanksi dari kreditur atas kurang cakapnya justru bisa melakukan pembelaan diri agar terlepas dari itu.
Selama debitur bisa membuktikan bahwa dia tidak bermaksud wanprestasi dan unsur force majeure itu memang ada maka kemenangan perselisihan di muka persidangan akan selalu diperoleh.
Hukum menyatakan bahwa force majeure menjadi alasan pembebas debitur membayar ganti rugi tersebut.
Sebagai seorang pengusaha yang khususnya sedang membuat perjanjian dengan pihak lain, tidak perlu merasa tersinggung jika pihak yang terikat ini terbukti wanprestasi karena keadaan force majeure.
Pembelaannya selalu dinyatakan benar selama bisa membuktikan itu dan kecakapan hukum membuat kita akan mengerti bahwa keadaan demikian tidak bisa ganti rugi sehingga harus merelakannya.
Source:
Jurnal:
Daryl John Rasuh “Kajian Hukum Keadaan Memaksa (Force Majeure) menurut pasal 1244 dan pasal 1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata” Lex Privatum Vol 4 No 2 (2016)
Peraturan perundang-undangan:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Internet
https://travel.kompas.com/read/2020/04/18/160701027/beli-tiket-pesawat-apa-itu-force-majeure