Sah! – Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak yang sudah melekat pada setiap individu sejak di dalam kandungan sampai meninggal dunia. Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) adalah sebuah pandangan atau penyimpangan tindakan terhadap orientasi seksual, identitas gender, eskspresi seksual, dan karakteristik seksual yang dijalankan oleh tiap individu.
LGBT adalah sebuah pandangan atau penyimpangan tindakan terhadap orientasi seksual, identitas gender, eskspresi seksual, dan karakteristik seksual yang dijalankan oleh tiap individu.
Kaum LGBT berbeda dalam hal keinginan, hasrat, dan romansa. Mereka memilih untuk menyukai sesame jenis, berbeda dengan seseorang yang pada dasarnya menyukai lawan jenis.
Dalam hal ini laki-laki menyukai laki-laki serta perempuan menyukai sesama perempuan. Adapun seseorang yang tertarik dengan keduanya baik itu pria maupun wanita. Perbedaan antara kaum LGBT dengan heteroseksual memunculkan pro dan kontra di masyarakat.
Kaum LGBT yang merupakan kelompok minoritas di masyarakat sering mengalami diskriminasi. Perilaku menyimpang dari kaum LGBT melahirkan budaya baru dalam kehidupan sosial masyarakat.
Hal ini menyebabkan munculnya pandangan yang bertentangan dalam kehidupan masyarakat luas. LGBT sudah lahir sejak abad ke-19.
Banyak masyarakat yang menganggap bahwa LGBT merupakan sebuah gangguan mental. Pencetus mengenai hal tersebut adalah American Phyciatric Assosiation (APA).
Tahun 1952 terdapat sebuah riset yang melahirkan diagnosis asli mengenai fenomena LGBT. Statistik Manual of Mental Health memandang bahwa LGBT adalah penyakit gangguan kepribadian sosiopat. Lalu pada tahun 1968, LGBT adalah penyakit mental.
Namun, American Phyciatric Assosiation (APA) pada tahun 1973 memberi pernyataan bahwa tindakan LGBT adalah sesuatu yang lumrah. LGBT dihapus dari gangguan mental ini karena diberontak oleh para kaum penganut LGBT sebab dengan diagnosis tersebut mereka dilihat sebagai individu yang berjiwa tidak sehat.
Charles W Socarides MD salah satu psikiater dan psikianalisis Amerika Serikat berpendapat lain bahwa terdapat faktor lain yang mengakibatkan seseorang masuk ke dalam golongan LGBT salah satunya misalnya lingkungan dan pengetahuan sekitar yang dapat mendorong individu tersebut menyebabkan LGBT.
Berdasarkan sejarah, pada tahun 1977 di Amerika yang berlokasi di Kota San Fransico terdapat seseorang yang pertama kali menjadi pejabat sipil dan dia merupakan seorang yang ‘gay’ yaitu bernama Harvey Milk.
Harvey Milk bertugas untuk mengawasi Kota San Fransico. Keaktifan beliau dalam memperjuangkan pengakuan hak-hak kaum LGBT justru mendatangkan pengaruh buruk. Akibat dari tindakan beliau ini menyebabkan Harvey dibunuh.
Sampai saat ini, problematika mengenai adanya kaum LGBT masih banyak menuai sisi pro dan kontra.
Tindakan mereka yang dianggap berbeda menjadikannya sebagai ‘korban diskriminasi’ karena dianggap berbeda seperti manusia pada umumnya atau dalam hal ini adalah heteroseksual.
Hak Asasi Manusia mereka seolah-olah hilang akibat perbedaan tersebut. Tentunya hal ini selalu mengahantui para kaum LGBT yang dianggap sebagai minoritas. Probelematika tersebut memerlukan payung hukum sebagai salah satu wujud upaya untuk membela hak-hak para kaum LGBT di dunia.
Dalam hukum HAM internasional terdapat Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Right). Banyak negara yang telah meratifikasi deklarasi tersebut.
Peratifikasian mengenai aturan tersebut bertujuan untuk mencapai ketertiban dan upaya untuk mewujudkan kesetaraan semua umat manusia di dunia.
Di dalam Pasal 1 satu dan Pasal 3 dalam deklarasi tersebut tertulis bahwa “Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan”.
Pasal 5 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dijelaskan pula bahwa “Tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, diperlakukan atau dikukum secara tidak manusiawi atau dihina”.
Selanjutnya pada Pasal 29 berbunyi “(1)Setiap orang mempunyai kewajiban terhadap masyarakat tempat satu-satunya di mana dia dapat mengembangkan kepribadiannya dengan bebas dan penuh.
(2) Dalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-kebebasannya, setiap orang harus tunduk hanya pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang yang tujuannya semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang tepat terhadap hak-hak dan kebebasankebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil dalam hal kesusilaan, ketertiban dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.
(3) Hak-hak dan kebebasan-kebebasan ini dengan jalan bagaimana pun sekali-kali tidak boleh dilaksanakan bertentangan dengan tujuan dan prinsip-prinsip Perserikatan Bangsa-Bangsa”. Keberadaan pasal-pasal tersebut mengamanatkan bahwa tiap indibidu memiliki kebebasan dari beragam diskriminasi.
Akan tetapi, pada praktiknya memang kerap yang banyak melakukan diskriminasi berupa penindasan terhadap para kaum LGBT oleh mereka yang termasuk golongan heteroseksual atau homofhobia.
Masyarakat yang kontra dengan adanya problematika tersebut memang berpendapat bahwa keberadaan kaum LGBT harus dimusnahkan karena dirasa melakukan tindakan penyimpangan dari nilai sosial.
Sebagai bentuk upaya hukum, PBB sebagai organisasi internasional memiliki dampak besar untuk melindungi hak-hak kaum LGBT. PBB telah menjalankan upaya sebagai wujud perlindungan tersebut sejak tahun 2000-an.
Dilanjutkan pada 30 Juni 2016, PBB melakukan adopsi mengenai perlindungan terhadap segala bentuk kekerasan dan diskriminasi yang didasarkan pada orientasi seksual dan identitas gender.
Adapun negara yang menyetujui keberadaan resolusi tersebut berjumlah 23 negara, yang menolak berjumlah 18 negara, dan negara yang tidak menanggapi baik itu menerima atau pun menolak terdapat 16 negara.
Berdasarkan data dari Sidang Majelis Umum PBB bahwa terdapat 20 negara yang melegalkan perilaku LGBT dan sebanyak 76 negara tidak menerima perilaku LGBT tersebut.
Dari data tersebut terlihat bahwa usaha yang telah dilakukan oleh PBB sudah cukup signifikan. Hak Asasi Manusia (HAM) memuat nilai kesetaraan dan kesamaan pada setiap individu.
Problematika LGBT dalam dunia internasional, nilai keberhasilan dalam penyebarannya dapat dilihat dari gerakan pro-LGBT yang sudah ada sejak dulu.
Adapun pada tahun 1948 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) adalah cikal bakal dari masalah LGBT ini. Reformasi politik dan demokratisasi kerap disalahgunakan pada proses liberalisasi dan wujud bebas berekspresi.
Pada umumnya, semakin kaya dan sekuler sebuah negara, maka makin besar kepedulian untuk merangkul hak-hak LGBT. Sedangkan semakin miskin dan nilai agamanya makin kuat maka semakin tinggi pula untuk menolak paham-paham LGBT.
Apalagi dilihat dari kenyataannya bahwa demokratis atau tidaknya suatu negara bahwa paham LGBT sedikit sekali tumbuh di negara nondemokratis.
Bassam Tibi berpandangan bahwa HAM merupakan hak yang dilahirkan dari paham Eropa modern mengenai natural law. Negara-negara Eropa telah menetapkan hak mengenai hukum alam tersebut menjadi indikator hukum.
Hal ini lah Deklarasi Universal HAM PBB muncul dan HAM menjadi hukum internasional. Negara islam masih banyak yang sulit melakukan pemahaman terhadap problematika LGBT.
Permasalahan seperti ini harusnya tidak mempunyai status hukum dalam HAM internasional sesuai dengan pandangan negara-negara islam. Problematika tersebut memfokuskan bahwa sulit meningkatkan hukum yang harmonis dan universal untuk badan-badan supranasional. Hal ini dikarenakan nilai dan kebiasaan menjadi ambigu dengan adanya budaya.
PBB yang merupakan organisasi yang menjadi reprentasi dari negara-negara yang lainnya seharusnya dapat memandang Dewan PBB yang sebagian besar keberatan adanya paham LGBT.
Akan tetapi, hal ini tidak mungkin bisa karena banyak isu politik internasional yang menetukan resolusi.
Dalam problematika LGBT ini yang dimaksud adalah United Nations Development Program (UNDP).
UNDP sebagai organisasi yang pro dengan paham LGBT baik mendukung secara moril dan materiil. United Nations Development Program (UNDP) berafiliasi bersama negara lainnya untuk memperjuangkan hak-hak LGBT.
Di Negara Indonesia sendiri terdapat LGBT Indonesia (LGBTI). LGBTI merupakan komunitas yang ada di bawah organisasi UNDP.
UNDP juga mendukung LGBTI untuk melakukan kerja sama dengan Swedia, Bangkok, Thailand dan USAID. Dukungan materiil yang diberikan UNDP sebanyak US $ 8 juta atau sebanyak Rp108 miliar.
Dukungan tersebut diberikan kepada empat negara yaitu Indonesia, Filipina, Thailand, dan RRC. Keberadaan organisasi UNDP juga sebagai bentuk kerja sama bersama masyarakat sipil dan lembaga-lembaga nasional & regional untuk menegakkan hukum dan SDM.
LGBT sebenarnya tidak diatur secara legal dalam hukum Hak Asasi Manusia (HAM) internasional. Dalam hal ini penulis berargumen bahwa paham LGBT sebenarnya ditujukan untuk meningkatkan eksistensi politik.
Dapat diketahui misalnya Negara Brazil yang termasuk negara dengan notabene sebagai simbol umat Nasrani dengan adanya patung Yesus paling besar selama puluhan tahun dan mempunyai budaya nilai agama yang kuat pada akhirnya tidak bisa menahan masuknya paham LGBT.
Dapat dilihat bahwa pengaruh dari LGBT movement telah kuat untuk mempengaruhi suatu negara.
Di dalam DUHAM pun tidak ada aturan yang jelas yang memaparkan mengenai paham LGBT. Justru dalam aturannya di Pasal 16 mengamanatkan tentang hak laki-laki dan perempuan untuk menikah dan berkeluarga.
Apabila paham LGBT diakui maka seharusnya dari dulu sejak tahun 1948 ketika lahirnya DUHAM tidak hanya menuliskan tentang laki-laki dan perempuan sebagai pasangan, tetapi juga menuliskan pasangan dengan berjenis kelamin sama.
Dalam hal ini lah dapat dijadikan sebagai argumentasi hukum internasional untuk menetang paham LGBT.
Kaum LGBT yang dianggap sebagai minoritas karena kerap terhadap penyiksaan. Berdasarkan data Special Rappoteur PBB menerangkan bahwa para kaum LGBT sering sekali terkena penyiksaan.
Hal ini disebabkan bahwa mitos yang takut karena ada kaitannya dengan gender, tindakan seks, dan HIV/AIDS.
Dalam Universal Declaration of Human Rights atau UDHR berisi bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat dengan cara apapun dan dengan tidak memandang batas”.
Sedangkan Pasal 19 ICCPR melanjutkan bahwa “hak untuk mencari, menerima, dan mengirim informasi melalui media cetak, dalam bentuk karya seni atau sumber lain sesuai dengan keinginan masing-masing”.
Dalam UDHR tertuang “everyone has the right to freedom of peaceful assembly and association”. Hal tersebut mengartikan bahwa semua orang memiliki hak untuk bebas berasosiasi dan membentuk kelompok secara damai.
Pasal 21 ICCPR juga memaparkan bahwa tidak boleh membatasi hak ini selain oleh hukum dan diperlukan warga demokratis dengan tujuan mencapai keamanan nasional, publik, ketertiban umum, perlindungan kesehatan atau moral masyarakat, dan kebebasan orang lain. Usaha negara untuk menghadapi persoalan LGBT dimana kelompok 17 negara dipimpin oleh Belarusia ingin menghapus target-target PBB dalam mengikutsertakan paham LGBT ke dalam strategi perkotaan.
Negara Kanada dengan didukung oleh Uni Eropa, Amerika, dan Meksiko menjadi pihak untuk memperjuangkan hak-hak kaum LGBT dan menolak homofhobia.
Kanada mempresentasikan proposalnya dalam konferensi PBB di Ekuador. Rencana yang diagendakan oleh PBB yaitu “Agenda Perkotaan Baru” berisi saran dalam menghadapi berbagai kota yang pesat perkembangannya.
Tujuannya agar dapat diadopsi pada Konferensi Habitat III di Quito, Ekuador yang bisa dijadikan panutan untuk membangun kota dalam 20 tahun kedepannya.
Adapun yang masih berada pada posisi kontra sejumlah 76 negara. Di negara-negara tersebut masih menentang adanya perkawinan sejenis dan bagi yang melakukan perilaku tersebut mendapat sanksi hukum.
Terdapat di tujuh negara yang melakukan tindakan homoseksualitas mendapat sanksi hukum berupa hukuman mati.
Berdasarkan data dari berita Reuters bahwa negara yang menentang hak LGBT di antaranya adalah Belarusia sebagai pemimpin, Indonesia, Rusia, Mesir, Qatar, Pakistan, dan Uni Emirat Arab. Adapun di beberapa negara di dunia juga sangat tidak setuju adanya kaum LGBT.
Presiden Zimbabwe yang bernama Robert Mugabe menuangkan pernyataan mengenai adanya golongan LGBT di negaranya yakni “hewan di hutan lebih baik dari orang-orang ini dan akan diancam memenggal kepala mereka”.
Presiden Zimbabwe Mugabe juga menyatakan bahwa kaum LGBT akan dikurung selama lima tahun dan menuntut untuk mempunyai anak. Apabila gagal maka kepala mereka dipenggal.
Pandangan kontra terhadap kaum LGBT juga ada di Negara Singapura. Pasal 377A KUHP Singapura telah diatur mengenai perilaku atau tindakan laki-laki bersama dengan laki-laki lain yang senonoh dapat mendapat hukuman penjara selama dua tahun.
Akan tetapi, diskriminasi terhadap homoseksualitas berdasarkan Keputusan Mahkamah Agung memunculkan perdebatan antara Negara Singapura dan UU anti gay yang mendapat tantangan dalam lingkup hukum.
Justru publik banyak yanh semakin mendukung hak-hak kaum LGBT yang ada di Singapura. Hal ini terlihat ketika banyak sekali yang hadir dalam event hak-hak gay Pink Dot Singapura yang diselenggarakan tiap tahun.
Rusia adalah negara yang sama dengan Singapura di mana kontra adanya kaum LGBT. Para kaum LGBT selalu memberi dorongan kepada Negara Rusia untuk dapat memecahkan solusi agar Hak Asasi Manusia (HAM) untuk kaum homoseksual dapat diperhatikan dengan baik.
Selain itu, mereka juga menginginkan agar Negara Rusia dapat memberi perlindungan terhadap hak fundamental dan memberi hak untuk hidup secara bebas kepada para kaum yang menganut paham LGBT.
Hal yang dimaksud adalah dengan penjabaran yang dituangkan dalam Undang-Undang yang didasarkan pada konten ECHR pada Labor Code of The Russian Federation tepatnya tanggal 31 Desember 2001.
Kemudian adalah Code of Administratif Offences 2001 dan Civil Procedure Code 2002. Namun, dalam pengimplementasiannya masih lemah karena tidak adanya aturan yang jelas bahwa larangan diskriminasi tersebut ditujukan kepada kaum LGBT.
Aturan tersebut dipandang masih ambigu. Walaupun demikian, penduduk Negara Rusia masih menentang adanya gay.
Hal ini dibuktikan ketika Walikota Moskow Yuri Luzhkov pada tahun 2007 terdapat bentuk larangan tegas kepada kegiatan “Gay Pride” dan memberikan pengertian bahwa homoseksualitas adalah bagian dari setan yang memicu publik marah disebabkan para kaum LGBT yang tetap mendapat hukuman penjara.
Dapat dianalisis bahwa terlihat Negara Rusia masih lemah untuk memperjuangkan hak-hak kaum LGBT dan dinilai kurangnya dalam mematuhi aturan ECHR.
RCC sebagai negara yang pro dengan adanya kaum LGBT dan merupakan salah satu anggota PBB sudah melakukan tanda tangan di beragam perjanjian internasional yang isinya memperjuangkan HAM.
Hal yang dimaksud demikian misalnya konvenan internasional tentang hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (sipil), konvensi tentang penghapusan segala wujud diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW), konvensi menentang hak anak (UNCRC), konvensi menentang penyiksaan dan lainnya, konvensi mengenai larangan dan penghapusan pekerja terhadap anak-anak (ILO), dan konvensi hak-hak penyandang disabilitas (CRPD).
Perkawinan sesama jenis di Negara RRC masih berada pada tahap UNDP. UNDP memperjuangkan golongan LGBT untuk melegalkan perkawina homoseksualitas sebab mereka berpandangan bahwa mereka yang merupakan kaum LGBT memiliki HAM untuk menikah.
UNDP sebagai organisasi di bawah naungan PBB juga ikut serta dalam membantu mensurvei warga RCC yang masuk dalam kaum LGBT.
UNDP juga memberi bantuan materiil kepada mereka untuk menyuarakan atau mengkampanyekan kaum-kaum LGBT yang berada di RCC.
Memang sampai saat ini masih belum ada paying hukum yang jelas dalam mengatur pernikahan sesame jenis atau homoseksualitas. Namun, RCC memiliki tradisi negara yang berpandangan bahwa pernikahan sesama jenis adalah sesuatu yang lumrah dilakukan.
Demikianlah artikel yang membahas seputar problematika kaum LGBT yang dilihat dari aspek HAM internasional.
Sah!- menyediakan beragam artikel yang dapat kalian akses melalui Laman Sah.co.id. Dengan ribuan artikel bisa menambah pengetahuan dan wawasan kalian sebab banyak sekali informasi bermanfaat yang kalian peroleh.
Source:
Adnyani, Putu Dian, Dewa Gede, and Sudika Mangku, PROBLEMATIKA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KELOMPOK LESBIAN, GAY, BISEKSUAL, DAN TRANSGENDER (LGBT) DALAM PERSPEKTIF HAM INTERNASIONAL, 2022, iv <https://ejournal2.undiksha.ac.id/index.php/GLR>
DEKLARASI UNIVERSAL HAK-HAK ASASI MANUSIA
Fai, ‘Hak Asasi Manusia’, Https://Umsu.Ac.Id/Hak-Asasi-Manusia/ (UMSU, 2022)
Fauziah, Anisa, Sugeng Samiyono, and Fithry Khairiyati, ‘PERILAKU LESBIAN GAY BISEKSUAL DAN TRANSGENDER ( LGBT ) DALAM PERSPEKTIF HAK AZASI MANUSIA ’, Jurnal Surya Kencana Satu : Dinamika Masalah Hukum Dan Keadilan, 11.2 (2020), 158–60
Khairiyati, Fithry, Anisa Fauziah, and Sugeng Samiyono, ‘TINJAUAN HAM INTERNASIONAL TERHADAP LESBIAN, GAY, BISEKSUAL, DAN TRANSGENDER (LGBT)’, Kherta Semaya, 9.3 (2021), 435–43