Berita Hukum Legalitas Terbaru

Simak, Industri Farmasi Wajib Menyusun Dokumen Terbaru Ini!

Ilustrasi Pembubaran Legalitas

Sah! – Industri Farmasi wajib menyusun Risk Management Plan (RMP) atau Perencanaan Manajemen Risiko (PMR) sebagai dokumen terbaru untuk memenuhi syarat registrasi izin edar obat.

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menambahkan syarat tersebut dalam rangka menjaga mutu dan keamanan obat bagi konsumen.

Setiap industri farmasi wajib untuk menyusun dokumen Perencanaan Manajemen Risiko (PMR) sejak proses pengembangan produk hingga pengedaran produk, khususnya dalam sistem farmakovigilans atau kegiatan penilaian, pendeteksian, dan pencegahan efek samping obat.

Penny Kusumastuti Lukito selaku Kepala BPOM menerangkan bahwa PMR merupakan perancangan dokumen yang bertujuan untuk mengidentifikasi, menentukan karakteristik, dan mencegah risiko obat sebelum beredar, sehingga implementasi farmakovigilans dapat berjalan secara efektif ketika obat telah diedarkan.

Aturan tambahan ini tertuang dalam Pasal 4 Angka 1 Peraturan BPOM Nomor 15 Tahun 2022 Tentang Penerapan Farmakovigilans.

Diketahui bahwa peraturan tersebut merupakan pengganti sekaligus mencabut peraturan sebelumnya, yaitu Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.03.1.23.12.11.10690 Tahun 2011 tentang Penerapan Farmakovigilans Bagi Industri Farmasi.

Dengan hadirnya Peraturan BPOM No. 15/2022, diharapkan tragedi kematian lebih dari 200 anak akibat obat sirup beracun pada tahun 2022 tidak akan terulang kembali.

Kepala BPOM menyatakan bahwa terdapat 3 jenis obat sirup yang diproduksi oleh PT Afi Farma mengandung bahan kimia berbahaya, seperti Etilen Glikol, Dietilen Glikol, dan Etilen Glikol Butil Eter yang melebihi batas wajar.

Sebagai informasi, Direktur hingga manajer produksi PT Afi Farma saat itu telah diputus bersalah yaitu melanggar Pasal 196 jo. Pasal 98 Ayat (2) dan (3) Undang-Undang No. 36/2009 tentang Kesehatan jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

“Industri farmasi memiliki kewajiban menyusun dokumen PMR secara holistik yang mencakup proses pengembangan hingga distribusi produk. Dokumen ini merupakan bagian tak terpisahkan dari dokumen registrasi produk”, ujar Kepala Penny.

Pelaporan implementasi PMR berlaku untuk obat baru, produk biologi (termasuk dengan biosimilar), obat generik tertentu, serta obat yang mengalami perubahan dan dimungkinkan meningkatkan risiko keamanan.

Pemenuhan spesifikasi keamanan dalam PMR terdiri dari epidemiologi dari indikasi dan populasi target, bagian non-klinik dalam profil keamanan, paparan uji klinik, populasi yang tidak dikaji dalam uji klinik, pengalaman pasca-persetujuan, risiko yang teridentifikasi dan potensial, serta ringkasan terkait isu keamanan.

Penerapan kewajiban penyusunan PMR dilakukan secara berkala. Berdasarkan data BPOM periode Januari-Agustus 2023, persentase penyerahan dokumen PMR oleh industri farmasi baru mencapai 30% dari total permohonan registrasi obat baru yang diterima BPOM.

Menyikapi hasil persentase di atas, BPOM menyelenggarakan workshop. Selain untuk membantu industri farmasi dalam perancangan dokumen PMR, workshop ini bertujuan untuk memperkuat kapasitas BPOM dan industri farmasi dalam implementasi PMR, termasuk dengan environmental risk assessment (ERA) pada tahapan registrasi obat, serta meningkatkan pengetahuan juga kapasitas evaluator BPOM terhadap dokumen PMR.

Workshop PMR diselenggarakan selama 3 hari, yaitu sejak 19-21 September 2023 di Jakarta. Selain terdapat pembahasan materi oleh para ahli, para peserta juga diarahkan untuk menyusun dokumen untuk kemudian dipresentasikan oleh masing-masing kelompok.

Lebih dari 350 peserta yang terdiri dari pegawai BPOM, pihak-pihak industri farmasi, dan peserta lain baik secara luring maupun daring telah berpartisipasi dalam acara tersebut.

”Industri obat dan pangan itu industri besar yang esensial sekali untuk mendukung kehidupan masyarakat, tetapi di satu sisi dalam proses produksi mulai dari bahan baku, diproduksi, sampai jadi produk itu menggunakan substansi yang bisa berbahaya pada lingkungan, seperti racun, karsinogenik, dan lain-lain. Harus dilakukan upaya di awal sehingga ada pencegahan,” ujar Kepala Penny.

Sebelumnya, Dr. Roderick Salenga selaku perwakilan WHO Indonesia Country Office menyampaikan bahwa WHO akan selalu mendukung langkah BPOM dalam menjamin akses keamanan, khasiat, dan mutu obat, termasuk dengan upaya BPOM dalam implementasi farmakovigilans melalui penyusunan PMR sebagai rangkaian dari pengawasan pre-market.

Senada dengan hal tersebut, stakeholders terkait pun menyambut baik dan mendukung upaya BPOM terkait pemberlakuan PMR bagi industri farmasi.

“Ke depan, kita memang harus lebih meningkatkan kapasitas karena industri farmasi selain memproduksi obat untuk masyarakat, tetapi juga mempunyai tanggung jawab terhadap keamanan obat dan dampak terhadap lingkungan. Efek dari limbah industri farmasi akan berdampak pada lingkungan, baik itu bahan kimianya, bahan tambahan, maupun dari kemasannya”, papar Elfiano Rizaldi selaku Ketua Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia.

Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia dan Grup Perusahaan Farmasi Internasional turut mengamini perubahan aturan BPOM tersebut. Sebab, mereka juga merasakan keresahan yang sama dengan BPOM mengenai isu peredaran obat di Indonesia.

Mereka mengharapkan Peraturan BPOM No. 15/2022 semakin memperkuat peran industri farmasi dan regulator dalam menjaga keamanan obat.

“Kami akan terus melakukan edukasi, pembinaan, dan mengomunikasikan hal ini kepada anggota kami bahwa ke depan kami harus meningkatkan kapasitas. Sebab, industri farmasi selain memproduksi obat untuk masyarakat juga mempunyai tanggung jawab pada keamanan obat tersebut, termasuk untuk lingkungan”, tutur Elfiano Rizaldi.

Dengan demikian, dapat diperoleh informasi bahwa BPOM menambahkan syarat terbaru bagi industri farmasi, yaitu kewajiban menyusun Perencanaan Manajemen Risiko (PMR) dalam persyaratan registrasi izin edar obat sebagai bentuk pengawasan pre-market sebagaimana termaktub dalam Peraturan BPOM No. 15/2022 tentang Penerapan Farmakovigilans.

Diharapkan para pelaku industri farmasi menjalankan kewajibannya sesuai dengan Peraturan BPOM No. 15/2022 tersebut, sehingga keamanan, khasiat, dan mutu obat yang beredar di lingkup masyarakat dapat terjamin dengan optimal.

Apabila hendak mendirikan usaha/bisnis atau mengurus legalitas usaha, maka segera hubungi Nomor WhatsApp 0851 7300 7406 atau kunjungi laman sah.co.id. Segera ikuti Instagram @sahcoid dan peroleh informasi ter-update.

Source:

Peraturan Perundang-undangan

Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 15 Tahun 2022 tentang Penerapan Farmakovigilans

Website

Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia, BPOM Tambah Persyaratan Izin Edar Obat Untuk Industri Farmasi, https://www.gpfarmasi.id/detailpost/bpom-tambah-persyaratan-izin-edar-obat-untuk-industri-farmasi, diakses pada 17 Mei 2024.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *