Sah! – Maraknya perbuatan Perundungan/Bullying seringkali terjadi di lingkungan Pendidikan. Perundungan yang terjadi di lingkungan Pendidikan umumnya terjadi di sekolah, yang biasanya dilakukan oleh anak yang masih berusia dibawah umur yang dilakukan oleh perorangan/kelompok.
Perbuatan perundungan/bullying biasanya dilakukan oleh senior atau kakak kelas kepada adik kelas, pelaku biasanya terlibat dalam suatu geng. Perundungan juga seringkali dilakukan secara keroyokan agar si korban tidak bisa melakukan perlawanan.
Perundungan/bullying adalah perilaku tidak menyenangkan baik secara verbal, fisik, ataupun sosial di dunia nyata maupun dunia maya yang membuat seseorang merasa tidak nyaman, sakit hati dan tertekan baik dilakukan oleh perorangan ataupun kelompok.
Pelaku perundungan/bullying biasanya merasa dirinya memiliki power (kekuasaan) dan mencari korban yang lebih lemah daripada dirinya. Perbuatan tersebut disadari, diinginkan dan dengan sengaja dilakukan yang meliputi perkataan, fisik atau relasional yang memberikan kesenangan bagi si pelaku.
Perilaku bullying ini dapat terbentuk dari lingkungan sekitar anak yang memiliki pengaruh yang besar terhadap watak dan perilaku anak seperti lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan pergaulan anak.
Dalam hal ini perundungan sering berupa kekerasan fisik hingga menimbulkan luka-luka baik luka ringan maupun luka berat. Pada situasi ini korban biasanya tidak bisa melawan karena takut akan di bully berkelanjutan di kemudian hari.
Terjadinya perbuatan bullying dapat dicegah dengan cara memperhatikan dan memperbaiki situasi di lingkungan sekitar dan diberikan pengarahan atau sosialisasi terkait pencegahan perundungan/bullying.
Pencegahan merupakan suatu tindakan/cara/proses yang dilakukan agar seseorang atau sekelompok orang tidak melakukan tindak kekerasan di lingkungan satuan Pendidikan. Pencegahan tersebut dapat dilakukan oleh Anak, Keluarga, Satuan Pendidikan, Pemerintah Daerah, dan Pemerintah Pusat.
Jenis-Jenis Perundungan/Bullying
Perbuatan perundungan terdiri dari beberapa macam diantaranya yaitu perbuatan Fisik (memukul, menampar, mendorong, menggigit, menendang, mencubit, mencakar, pelecehan seksual, dll).
Non Fisik (mengancam, mempermalukan, merendahkan, mengganggu, memanggil dengan julukan atau mengolok-olok kecacatan fisik dll). Cyber (melalui media elektronik), Verbal, Non Verbal Langsung, dan Non Verbal Tidak Langsung.
Dampak Perundungan/Bullying Bagi Korban, Pelaku dan Saksi
Korban bullying seringkali mengalami kesakitan baik secara fisik dan psikologis, kepercayaan diri yang merosot, malu, trauma, merasa sendirian, takut sekolah, mengasingkan diri, menderita ketakutan sosial, timbul keinginan untuk mengakhiri diri dan mengalami gangguan kejiwaan.
Pelaku Bullying akan belajar bahwa tidak ada resiko apapun bagi mereka bila mereka melakukan kekerasan, agresi maupun mengancam anak lain. Ketika dewasa, pelaku memiliki potensi lebih besar untuk menjadi pelaku kriminal dan akan bermasalah dalam fungsi sosialnya.
Saksi perundungan/bullying seringkali mengalami perasaan yang tidak menyenangkan dan mengalami tekanan psikologis yang berat, merasa terancam dan ketakutan akan menjadi korban selanjutnya.
Kebijakan Perlindungan Anak
Mengenai Perlindungan Anak diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak).
Dalam Pasal 76C menyebutkan bahwa “Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak”.
Pasal 9 ayat (1) yang menyebutkan “Setiap anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan Pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga Pendidikan, sesama peserta didik, dan atau pihak lain”.
Selain dalam UU Perlindungan Anak, Kebijakan Perlindungan Anak juga diatur dalam Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.
Sanksi Terhadap Pelaku Perundungan/Bullying
Mengenai sanksi terhadap pelaku perundungan diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), dan sanksi sosial.
Pasal 80 ayat (1) UU Perlindungan Anak bahwa “Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 76C, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000 (tujuh puluh dua juta rupiah).
Pasal 80 ayat (2) UU Perlindungan Anak bahwa “Dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000 (serratus juta rupiah).
Pasal 80 ayat (3) UU Perlindungan Anak bahwa “Dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (limabelas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 3.000.000.000 (tiga miliar rupiah).
Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), (2) dan (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut adalah orang tuanya.
Sedangkan berdasarkan UU SPPA maka wajib diupayakan diversi bagi anak. Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 UU SPPA. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
Upaya ini merupakan Upaya dalam menciptakan keadilan restorative, yaitu penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil.
Pasal 7 ayat (1) UU SPPA bahwa “Pada Tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di Pengadilan Negeri (PN) wajib diupayakan diversi”.
Ayat (2) UU SPPA bahwa “Diversi sebagaimana pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana dibawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana”.
Dalam Pasal 80 ayat (1) dan (2) sanksi pidana yang diancam terhadap pelaku adalah pidana penjara kurang dari 7 (tujuh) tahun, karenanya wajib diupayakan diversi bagi kepentingan anak.
Sedangkan mengenai sanksi sosial diantaranya adalah skorsing, drop out (DO), dan mungkin para pelaku perundungan/bullying akan sulit diterima di masyarakat karena memiliki background (latar belakang) yang jelek akibat pernah melakukan perundungan/bullying.
Seperti itulah penyampaian artikel berupa perundungan/bullying yang kerap terjadi di sekolah dan hukuman yang tepat untuk pelakunya, semoga bermanfaat.
Sah! menyediakan layanan mengenai berita dan informasi seputar dunia hukum, administrasi hukum, legalitas usaha, perizinan, serta beberapa layanan hukum lainnya. Tidak perlu khawatir menjalankan usaha, karena dengan sah segalanya lebih mudah.
Untuk anda yang ingin mengetahui informasi mengenai artikel lainnya silahkan kunjungi website sah.co.id dan bagi anda yang hendak mendirikan lembaga/usaha atau mengurus legalitas usaha bisa hubungi WA 0856 2160 034 atau dapat mengunjungi website sah.co.id.
Source:
- Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, ditpsd.kemdikbud.go.id “Perangi Perundungan di Sekolah Untuk Ciptakan Sekolah Aman dan Nyaman” oleh Tim Penyusun Direktorat Sekolah Dasar.
- Jurnal Ilmiah: Jurnal Hukum Politik dan Kekuasaan “Pencegahan Perundungan/Bullying di Institusi Pendidikan: Pendekatan Norma Hukum dan Perubahan Perilaku” oleh Rika Saraswati dan Venatius Hadiyono (Universitas Katolik Soegijapranata Semarang).
- Jurnal Ilmiah: Jurnal Jendela Hukum “Perlindungan Hukum Terhadap Korban dan Pelaku Tindak Pidana Praktik Bullying di Lingkungan Sekolah” oleh Anita dan Meidy Triasavira (Universitas Wiraraja).
- Kemdikbud.go.id.
- Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
- Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.