Sah! – Pemerintah akan menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang saat ini sebesar 11 persen menjadi 12 pesen mulai tahun depan (1 Januari 2025).
Kenaikan PPN menjadi 12 persen ini merupakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang disahkan Presiden Jokowi pada 29 Oktober 2021.
Dalam Bab IV UU HPP Pasal 7 ayat 1 mengatur terkait besaran Pajak Pertambahan Nilai alias PPN yang sebelumnya 10 persen naik jadi 11 persen mulai 1 April 2022, lalu kembali dinaikkan menjadi 12 persen yang berlaku mulai 1 Januari 2025.
Lalu, apa itu PPN, siapa yang berkewajiban membayar, memungut, dan menyetorkan PPN, dan objek apa saja yang terkena PPN? Simak penjelasan berikut ini.
Pengertian Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Pajak Pertambahan Nilai atau PPN adalah pungutan yang dibebankan atas terjadinya transaksi jual beli barang kena pajak (BKP) dan/atau jasa kena pajak (JKP).
Dalam praktiknya, pihak penjual sebagai pengusaha kena pajak (PKP) harus membuat faktur pajak elektronik sebagai bukti pemungutan PPN kepada konsumen atau pembeli dan melaporkannya setiap bulan melalui SPT Masa PPN.
Sehingga, yang berkewajiban untuk memungut, menyetor, dan melaporkan PPN adalah PKP atau penjual. Dan yang berkewajiban membayar PPN adalah pembeli atau konsumen akhir.
Dengan kata lain, PPN adalah biaya tambahan yang harus dibayar oleh konsumen saat membeli barang dan/atau jasa. Akan tetapi, tidak semua yang dibeli dikenakan PPN, melainkan hanya barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak.
Konsumen tidak langsung menyetorkan PPN ke negara, melainkan melalui perusahaan yang bertindak sebagai penjual barang dan jasa.
Sehingga, pihak perusahaan atau penjual akan mengenakan PPN sebesar yang telah ditentukan dalam undang-undang ke konsumen akhir, dan menyetorkannya kepada negara.
Objek PPN
Objek PPN adalah setiap barang dan/atau jasa yang dikenakan pungutan PPN. Secara garis besar, Objek PPN dikelompokkan menjadi dua, yakni Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP).
Barang Kena Pajak adalah barang berwujud berupa barang bergerak dan barang tidak bergerak, serta barang tidak berwujud yang dikenakan pajak.
Sedangkan JKP adalah kegiatan berupa pelayanan untuk menyediakan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak, yang berdasarkan perikatan atau perbuatan hukum, yang dikenakan pajak.
Secara spesifik Objek PPN diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) atau UU PPN. Dalam Pasal 4 ayat 1 disebutkan bahwa PPN dikenakan atas:
- Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha
- Impor Barang Kena Pajak
- Penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha
- Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean
- Pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean
- Ekspor BKP Berwujud dan Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak
- Ekspor JKP oleh Pengusaha Kena Pajak
Barang dan Jasa yang Tidak Dikenakan PPN
Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) yang dikenakan PPN jumlahnya sangat banyak. Pengaturan cakupan BKP dan JKP yang dikenakan PPN dalam UU PPN bersifat negative list.
Maksud dari negative list adalah, bahwa pada prinsipnya semua barang dan jasa dikenakan PPN, kecuali yang ditetapkan sebagai barang dan jasa yang tidak dikenakan PPN.
Jenis barang yang tidak dikenai PPN, yakni antara lain:
1. Barang hasil pertambangan, penggalian, pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya
2. Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak
- beras, gabah, jagung, sagu, kedelai
- garam
- daging segar
- telur, susu
- buah-buahan, sayur-sayuran
3. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering
4. Uang, emas batangan, dan surat berharga.
Selain jenis barang yang disebutkan di atas, barang tersebut dikenakan PPN, seperti pembelian mobil, sepeda motor, rumah, apartemen, barang elektronik, dll.
Sedangkan jenis jasa yang tidak dikenai PPN, yakni antara lain:
- jasa pelayanan kesehatan medis
- jasa pelayanan sosial
- jasa pengiriman surat dengan perangko
- jasa keuangan
- jasa asuransi
- jasa keagamaan
- jasa pendidikan
- jasa kesenian dan hiburan
- jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan
- jasa angkutan umum di darat, air, dan udara
- jasa tenaga kerja
- jasa perhotelan
- jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum
- jasa penyediaan tempat parkir
- jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam
- jasa pengiriman uang dengan wesel pos
- jasa boga atau katering.
Selain jenis jasa yang disebutkan di atas, berarti jasa tersebut dikenakan PPN.
Tarif PPN
Tarif PPN untuk saat ini, menurut UU HPP adalah 11 persen, namun akan naik menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025.
Dengan tarif PPN sebesar 11 persen, berarti jika ada mobil dengan harga jual sebesar Rp 200 juta, maka pajak yang dikenakan sebesar Rp 22 juta, sehingga total yang perlu dibayar oleh konsumen adalah Rp 222 juta.
Namun, jika tarif PPN sebesar 12 persen, maka pajak yang dikenakan sebesar Rp 24 juta, sehingga total yang perlu dibayar konsumen adalah Rp 224 juta.
Itulah penjelasan terkait Pajak Pertambahan Nilai atau PPN yang rencananya akan naik menjadi 12 persen mulai tahun depan. Semoga bermanfaat.
Untuk mendapatkan berita dan informasi terbaru dan menarik lainnya seputar hukum, bisnis, dan legalitas usaha, kunjungi Sah Blog!
SAH! juga menyediakan layanan konsultasi gratis bagi anda yang memiliki persoalan terkait legalitas usaha atau hendak mengurus legalitas usaha anda. Kunjungi SAH! untuk mendapatkan info selengkapnya!
Sumber:
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009
https://www.online-pajak.com/tentang-ppn-efaktur/pajak-pertambahan-nilai-ppn