Bagaimana kedudukan buruh dalam pembayaran utang kepaiilitan? Hukum kepailitan di Indonesia mengatur bahwasanya terdapat 3 (tiga) jenis kreditur di dalam kepailitan, yakni kreditur preferen, kreditur seperatis dan kreditur konkuren.
Secara singkat yang menjadi pembeda diantara ketiga kreditur tersebut adalah, kreditur preferen merupakan kreditur yang mempunyai hak mendahului karena sifat piutang mereka, adapun hak mendahului tersebut merupakan hak istimewa yang diberikan oleh Undang-Undang sebagaimana Pasal 1134 KUHPerdata mengatur.
Adapun kreditur seperatis merupakan kreditur yang memegang hak jaminan kebendaan seperti hak gadai, hak hipotik, hak tanggungan dan hak fidusia. Sedangkan kreditur konkruren merupakan, kreditur yang tidak memiliki keistimewaan.
Lalu bagaimana dengan posisi buruh di dalam pembayaran utang kepailitan? apakah buruh termasuk kreditur preferen, seperatis atau termasuk kedalam kreditur konkuren?
Ketentuan mengenai posisi buruh di dalam kepailitan sebelum adanya Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja merujuk kepada ketentuan yang tertuang di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XI/2013. Namun pada awal tahun 2020, legislator mengratifikasi Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang mana di dalam Undang-Undang ini terdapat aturan yang mengatur mengenai kedudukan buruh di dalam kepailitan
Jika terdapat kondisi dimana norma hukum baru yang memiliki kedudukan yang setara atau bahkan lebih tinggi kedudukannya daripada norma hukum yang lama untuk menentukan norma hukum mana yang berlaku maka kita dapat menerapkan asas ”Lex posterior derogate legi priori’‘.
Dengan prinsip tersebut maka ketentuan mengenai kedudukan buruh tunduk pada ketentuan yang di muat di dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Undang Undang Cipta Kerja pada Bab IV tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa, ketentuan Pasal 95 Ayat (1) menyebutkan: ”Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, upah dan hak lainnya yang belum diterima oleh pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya”.
Berdasarkan pasal tersebut diatas maka kedudukan buruh terhadap pembayaran upah merupakan kedudukan yang mempunyai ”hak istimewa” yang membuat buruh diklasifikasikan sebagai salah satu kreditur preferen yang upahnya dibayarkan terlebih dahulu kepada kreditur lain.
Hal ini juga dikuatkan dengan isi dari Pasal 95 Ayat (2) yang menyebutkan ”Upah pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya sebelum pembayaran kepada semua kreditur.
Namun dimanakah posisi buruh terhadap pembayaran utang yang tergolong ke dalam ”Hak Lainnya” yang tidak tergolong upah?
Untuk menjawab hal tersebut maka Pasal 95 Ayat (3) menyebutkan: ”Hak lainnya dari pekerja/buruh sebagaimana pada ayat (1) didahulukan pembayarannya atas semua kreditur kecuali para kreditur pemegang hak jaminan kebendaan.
Maka berdasarkan pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa, posisi buruh dalam hal pembayaran utang kepailitan terhadap upah dan terhadap ”hak-hak lainnya” menempati kedudukan yang berbeda, yang mana kedudukan terhadap pembayaran ”upah” merupakan pembayaran yang harus dilakukan terlebih dahulu daripada kreditur lainnya.
Sedangkan posisi pembayaran utang terhadap ”hak-hak lainnya” selain upah seperti uang cuti, uang kompensasi, dll, memiliki kedudukan di dalam pembayaran utang setelah kreditur pemegang hak jaminan kebendaan.
Sumber:
Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.