Sah! – Pada tanggal 17 Januari 2023 banyak kepala desa yang mengajukan revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dengan berunjuk rasa di depan Gedung DPR.
Penuntutan revisi UU Desa bertujuan supaya mereka dapat menjabat sebagai kepala desa lebih lama.
Adapun Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) akan melaksanakan unjuk rasa pada rentang bulan Agustus-Oktober apabila UU Desa tidak segera direvisi oleh DPR.
Hal ini terjadi pada tanggal 23 Januari 2023. Bahkan di tanggal 19 Maret 3, partai politik yang tidak memberikan dukungan usulan terkait Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada desa akan diancam oleh Apdesi tidak akan mendapat suara pada Pemilu 2024.
Kades asal Pulau Madura, Jatim juga melakukan ancaman yang sama yakni tidak memenangkan suara Parpol Pemilu 2024. Isu perpanjangan masa jabatan kepala desa menjadi suatu hal yang menarik untuk dibahas.
DPR telah mengesahkan revisi Pasal 39 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang mengatur tentang periode jabatan kepala desa.
Masa jabatan kepala desa yang semula adalah 6 tahun dalam 3 periode menjadi 9 tahun dalam 2 periode.
Selain pengusulan masa jabatan, para fraksi DPR juga menyetujui untuk menaikkan anggaran dana desa dengan menambah 15 persen dari jumlah anggaran transfer daerah.
Masa jabatan kepala desa yang diperpanjang diusulkan atas dasar yang berpotensi terjadi masalah pasca pemilihan kepala desa yang mampu menghambat stabilitas sosial politik dan pembangunan desa.
Masa jabatan selama 6 tahun menurut para kades sulit untuk merealisasikan program-program yang dimiliki demi terciptanya masyarakat desa yang sejahtera. Akan tetapi, alasan mengenai hal itu dianggap aneh sebab muncul tanda-tanda kepentingan politik atas pengusulan revisi UU Desa tersebut.
Menjelang Pemilu 2024 tiba-tiba di Komisi II DPR dikagetkan dengan munculnya daftar RUU Kumulatif Terbuka. Tetapi, pra Pemilu di dalam Prolegnas tidak pernah berinisiatif untuk melakukan revisi UU Desa.
Revisi UU Desa secara dadakan muncul yang beralasan untuk penyesuaian terhadap Putusan MK Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Maret 2023.
Adanya perpanjangan masa jabatan kepala desa menjadi 9 tahun menimbulkan kekuasaan kades menjadi lebih lama yang mampu mengakibatkan adanya perilaku korupsi dengan tujuan untuk mengakumulasi kekuasaan dan menjadikan dirinya kaya.
Akhir-akhir ini, di beragam wilayah Negara Indonesia terjadi banyak kades yang menyalahgunakan dana desa. Revisi perpanjangan masa jabatan kepala desa merupakan suatu isu yang timbul di tengah ramainya kasus anggaran dana desa yang disalahgunakan oleh oknum kades maupun aparat desa yang bersangkutan.
Korupsi dana desa termasuk dalam kasus tertinggi di Indonesia yang berurusan dengan para aparat hukum. Jumlah kasus tersebut mencapai 592 yang mengakibatkan Negara Indonesia rugi senilai Rp 433,8 miliar.
Adapun berdasarkan data dari Indonesia Corruption Watch (ICW), korupsi dana desa menyentuh angka 155 kasus. KPK pun mengungkap bahwa hingga 2022 para aparat desa banyak terjerat kasus korupsi sejumlah 686.
Jumlah dana desa tinggi jumlahnya dari waktu ke waktu mengartikan ruang fiskal kekuasaan lokal untuk melakukan kapitalisasi anggaran semakin banyak.
Dari tahun 2015 sejumlah Rp400,1 triliun anggaran untuk desa disalurkan dengan tujuan pembangunan fasilitas di desa terkait. Selain infrastruktur, dana desa tersebut juga dimanfaatkan untuk memulihkan perekonomian dan memberdayakan masyarakat desa.
Namun, pada faktanya dana desa tidak dipergunakan dengan baik seperti dikorupsi yang berakibat kesejahteraan masyarakat desa menjadi menurun dan rasio kemiskinan di Negara Indonesia semakin bertambah.
Hal ini didukung oleh data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yakni ada 13,2% masyarakat miskin pada tahun 2020.
Lalu, penurunan angka kemiskinan sempat terjadi pada tahun 2021 yakni sejumlah 12,59% dan tahun 2022 menyentuh angka 12,2%.
Adapun yang terbaru yakni tahun 2023 tepatnya bulan Maret kemiskinan di Indonesia terdapat Rp11,74 juta. Walaupun angka tersebut menurun, tetapi angka kemiskinan di Indonesia masih tergolong tinggi.
Pemerintah tidak mengatasi perilaku korupsi dana desa di Indonesia dengan baik misalnya penguatan pengawasan, akuntabilitas, pengevaluasian secara bertahap mengenai sistem kelola dana desa.
Namun, justru para kades diberikan kekuasaan lebih panjang lagi untuk menjabat. Supratman Andi Agtas, Ketua Baleg sekaligus Ketua Panitia Kerja yang menyusun RUU Desa memberikan keyakinan kepada publik bahwa di balik revisi UU Desa untuk memperpanjang jabatan kepala desa tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan Parpol dalam kontestasi Pemilu tahun 2024.
Akan tetapi, logikanya publik tidak percaya sebab menyoroti dari DPR yang sering kali tidak mendengarkan aspirasi masyarakat.
Parpol memikirkan nasib politik yang berada di Senayan utamanya pada saat mendekati Pemilu 2024 yang menjadikan Parpol untuk menggunakan kesempatan dalam kemenangan suara di Pemilu 2024, yang termasuk dalam melakukan kapitalisasi wewenang legislatifnya untuk mengambil suara dari rakyat yang termasuk para peserta pemilu oleh kades.
Para partai politik mengambil suara rakyat dengan cara melalui kades. Sementara itu kades ialah elemen representasi masyarakat desa paling penting dalam mempengaruhi untuk menarik suara masyarakat.
Kepala desa merupakan salah satu satuan pemerintah paling rendah yang kuat untuk mendapat simpati masyarakat hingga ke akarnya. Hal ini ditunjukkan seperti ketidaknetralan dalam memilih paslon Pemilu 2024.
Tentunya permasalahan ini menjadikan publik resah akibat praktik nir-demokrasi yang dilakukan oleh aparat desa khususnya kades. Seperti kasus di Jabar tepatnya Kabupaten Sumedan dan di Sulawesi Tengah Desa Bualemo yang mana dalam pelaksanaan Pemilu telah melibatkan peran kades di dalamnya.
Contohnya dalam memilih caleg di Pemilihan Bupati 2015 lalu. Tidak hanya itu, kades Mbawa, Kecamatan Donggo dan Kades Pesa Kecamatan Wawo yang berujung pada sel penjara sebab telah memberi dukungan saat mengkampanyekan calon Bupati Bima periode 2020-2025.
Kasus yang sama juga terlihat di Desa Penyabungan Jae di Kabupaten Mandailing Natal, kadesnya menggunakan upacara agama dan kepentingan menyurat dalam rangka memperkenalkan para capres dan cawapres kepada masyarakat. Tidak hanya itu, penyuapan juga dilakukan kepada panitia penyelenggaraan Pemilu.
Dengan ini, perpanjangan masa jabatan kepala desa menjadi 9 tahun dalam bahasan di DPR menjadi jalan pintas sebagai momentum yang kuat bagi Parpol yang digunakan untuk kepentingan Pemilu 2024 belaka.
Bahkan PSI, Partai Gelora, dan Partai Bulan Bintang yang termasuk dalam kategori partai yang tidak berkepentingan secara langsung di Pemilu juga menyetujui revisi UU Desa yang memperpanjang masa jabatan kepala desa hingga 9 tahun.
Dugaan mengenai apabila ketidakberpihakan kepada para kades ditunjukkan oleh para parpol maka akan menyebabkan karirnya terancam di tahun 2024.
Atas hal tersebut membuat mereka untuk main aman mengenai persoalan perpanjangan masa jabatan. Ada juga partai politik yang memilih untuk diam dalam menanggapi isu yang sedang mencuat kala itu.
Bagaimana Pengaruh Perpanjangan Masa Jabatan Kepala Desa Kedepannya?
Berdasarkan isu yang terjadi pada tahun 2023 yakni persoalan mengenai perpanjangan masa jabatan kepala desa maka beberapa hal kontroversial yang timbul sebagai pengaruh pasca disahkannya revisi UU Desa di antaranya:
1. Demokratisasi lokal khususnya desa menjadi hal yang terancam sebab adanya perpanjangan masa jabatan kepala desa yang diubah menjadi 9 tahun. Beragam kasus korupsi maka akan semakin menambah yang disebabkan ruang arbitrer yang terbuka secara lebar (kekuasaan yang disalahgunakan oleh kepala desa).
Hal ini akan mampu meningkatkan hasrat para kepala desa untuk melakukan korupsi dana desa yang mereka pimpin. Para kepala desa secara bebas akan melakukan kapitalisasi terkait segala sumber daya yang berada di desa.
Masyarakat disuguhi dengan fenomena sosial mengenai gaya hidup kepala desa yang mana secara ‘tiba-tiba menjadi kaya’ seperti mempunyai mobil lebih dari satu misalnya dan rumah yang mewah.
Namun, pada akhirnya mereka harus berhadapan dengan hukum. Sedangkan kondisi masyarakat lokal justru makin tertinggal.
Hal ini bisa terjadi sebab terdapat hukum yang mengatur yakni Pasal 39 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang bisa mempengaruhi kepala desa bersikap anti demokrasi akibat perpanjangan jabatan yang dimilikinya dalam menjabat sehingga tanggung jawab mereka dalam memimpin untuk menciptakan iklim demokrasi yang baik tidak terealisasikan.
Hal ini didukung dengan fakta terlihat banyaknya kasus penyalahgunaan anggaran desa di beberapa wilayah Indonesia.
Seperti yang telah kelompok kami kaji bahwa korupsi dana desa termasuk dalam kasus tertinggi di Indonesia yang berurusan dengan para aparat hukum.
Jumlah kasus tersebut mencapai 592 yang mengakibatkan Negara Indonesia rugi senilai Rp 433,8 miliar. Tetunya, kekuasaan sewenang-wenang oleh para elite desa tersebut menurunkan indeks kesejahteraan masyarakat desa dan meningkatkan rasio kemiskinan yang ada di Indonesia.
Berdasarkan data BPS ada 13,2% masyarakat miskin pada tahun 2020. Lalu, penurunan angka kemiskinan sempat terjadi pada tahun 2021 yakni sejumlah 12,59% dan tahun 2022 menyentuh angka 12,2%.
Adapun yang terbaru yakni tahun 2023 tepatnya bulan Maret kemiskinan di Indonesia terdapat Rp11,74 juta. Walaupun angka tersebut menurun, tetapi angka kemiskinan di Indonesia masih tergolong tinggi.
2. Perpanjangan masa jabatan kepala desa berpengaruh pada kepentingan elektoral politik yang diperjuangkan oleh banyak parpol menjelang Pemilu 2024.
Hal ini melihat sebelumnya dalam Prolegnas tidak ada terkait inovasi untuk memperpanjang masa jabatan kepala desa hingga 9 tahun. Namun, secara mengagetkan isu perpanjangan masa jabatan muncul saat menjelang Pemilu 2024.
Sebab kepala desa menjadi elemen yang kuat untuk menarik simpati masyarakat sehingga mampu memberikan suara politis mereka pada Pemilu 2024, maka seluruh fraksi DPR menyetujui untuk dilaksanakan revisi UU Desa mengenai perpanjangan masa jabatan supaya suara parpolnya dalam Pemilu dapat tinggi.
Para partai politik cenderung untuk main aman (safety player) bahkan ada juga yang tutup mulut mengenai isu perpanjangan kades ini.
Berdasarkan analisis kelompok kami, kepala desa juga termasuk tokoh satuan pemerintahan yang merupakan representasi masyarakat sehingga bisa melakukan mobilisasi suara hingga ke akar-akarnya dengan memperlihatkan ketidaknetralan para kades dalam pemilihan umum tahun 2024.
3. Hukum yang mengatur mengenai perpanjangan masa jabatan kepada desa yakni Pasal 39 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mempengaruhi atmosfer kepemimpinan hingga menimbulkan politik masyarakat yang cenderung membosankan atau menjenuhkan.
Hal ini seperti pendapat kades Tilang, Kecamatan Nita, Kabupaten Sika, Provinsi Nusa Tenggara Timur yang mana menyatakan bahwa perpanjangan masa jabatan sampai 9 tahun akan menciptakan kebosanan pada masyarakat sebab tidak bisa merasakan sosok pemimpin yang bervariasi disertai dengan programnya. Jadi, dengan adanya pengesahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 juga berpengaruh kepada masyarakat lokal desa terkait.
4. Seperti yang kita ketahui bahwa Pilkades merupakan salah satu alat untuk menciptakan modernisasi pemerintahan demi terwujudnya demokratisasi.
Dampak dari 9 tahun menjabat sebagai kades dapat menjadikan semangat untuk berdemokrasi masyarakat lokal menjadi menurun sebab segala kebijakannya yang diciptakan oleh pemerintah desa akan jauh dari kata transparan sebab pelaksanaannya diintervensi oleh kades yang hasratnya ingin menjadikan kekuasaan jabatan yang diduduki menjadi kekal.
5. Berdasarkan perspektif dari masyarakat, perpanjangan masa jabatan kepala desa juga mengakibatkan suatu hal seperti proses kekuasaan di desa semakin terbatas dengan ruang demokrasi yang semakin menyempit.
Pilkades memang merupakan pesta demokrasi yang bermuka ganda. Pertama, Pilkades dijadikan sebagai wujud demokrasi masyarakat lokal/desa.
Namun, mereka seringkali terjebak dalam politik yang apatis sehingga mengakibatkan turunnya partisipan dalam Pemilihan Kepala Desa (Pilkades).
Intervensi dari elite desa supaya mampu melakukan mobilisasi terhadap suara masyarakat sehingga bisa menduduki jabatan bahkan menyalahgunakan kekuasaannya. Hal tersebut dilaksanakan dengan cara mengintimidasi masyarakat melalui praktik money politics.
Demikianlah artikel yang membahas mengenai permasalahan revisi UU Desa yang ramai dibicarakan dan bagaimana pengaruh kedepannya pada masyarakat lokal atau desa.
Sah! juga menyediakan beragam artikel yang mempunyai informasi menarik. Langsung saja kunjungi Sah.co.id untuk menjangkau informasi bermanfaat.
Source:
https://journalpublicuho.uho.ac.id/index.php/journal/article/view/213/136
https://jurnal.untirta.ac.id/index.php/jurisprudence/article/download/22532/11699