Sah! – Ketentuan Hukum positif dan Hukum internasional penggunaan dan pembatasannya diatur dalam ketentuan Pasal 4 ayat (2) ICCPR dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.
Dimana diatur bahwa jenis HAM yang tergolong non-derogable rights tidak dapat disentuh dalam hal ini maksudnya tidak dapat dibatasi walaupun dalam keadaan darurat sekalipun.
Legislator selaku pihak pembentuk undang-undang akan bersikukuh bahwa pembatasan HAM yang ditetapkannya telah sesuai dengan persyaratan pembatasan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.
Pasal tersebut yang menyatakan bahwa: “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang diterapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain”
Dalam hal ini maka terdapat setidaknya 3 aspek persyaratan konstitusionalitas pembatasan terkait HAM yakni:
- Aspek legalitas, dalam pengaturan pembatasan HAM sudah seharusnya ditetapkan dalam sebuah undang-undang tidak melalui instrument hukum lainnya saja.
- Aspek maksud dan tujuan dilakukannya pembatasan hak, yaitu semata-mata dimaksudkan untuk keseimbangan menghormati dan melindungi hak dan kebebasan orang lain dan demi memenuhi tuntutan yang adil dalam masyarakat demokratis;
- Aspek alasan dan pertimbangan dalam melakukan pembatasan hak yang meliputi; Pertimbangan moral, Nilai-nilai agama, Keamanan, dan Ketertiban umum.
Adapun yang menjadi catatan adalah dituangkan ke dalam undang-undang saja nyatanya tidak cukup sebagai legitimasi pembatasan HAM.
Adakalanya juga pembatasan HAM yang tertuang dalam undang-undang tersebut dinyatakan inkonstitusional.
Sampai pada tahap ini tentu muncul sebuah persoalan, yaitu dalam hal apa saja suatu materi pembatasan HAM itu dapat dikatakan menyalahi ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 atau tidak.
Dapat dikatakan bahwa alasan-alasan atau pertimbangan yang digunakan dalam hal menyatakan suatu pembatasan HAM menjadi inkonstitusional adalah sebagai berikut;
- Melanggar Prinsip Penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain;
- Mengandung unsur-unsur diskriminasi;
- Menimbulkan ketidakpastian hukum; dan
- Tidak didasarkan pada alasan yang kuat, kokoh, valid rasional, dan proposional, serta tidak berkelebihan.
Alasan-alasan tersebut bersifat alternatif, dalam arti terlanggarnya salah satu kriteria konstitusionalitas pembatasan HAM saja sudah cukup bagi MK untuk menyatakan suatu materi pembatasan HAM menjadi inkonstitusional.
Analisa mengenai klausula yang memungkinkan pembatasan hak melalui undang-undang jika memenuhi syarat-syarat yang ditentukan.
Syarat-syarat tersebut adalah; “First, the measure adopted be carefully designed to achieve to the objective in question. They must not be arbitrary, unfair or based on irratinali considerations. In short, they must be rationally connected to the objective.
Second, the means, even if rationally connected to be objective in this fist sense, should impair “as the little as possible” the rights or freedom in question.
Third, they must be proportionality between the effects of the measures which are responsible for timing the charter rights or freedoms, and the objective which has been identified as of “sufficient importance”.
Secara sederhana, maksud dari persyaratan proporsionalitas yang diajukan oleh Majelis Hakim Agung Kanada itu dapat dijelaskan ke dalam sebuah simulasi sebagai berikut;
Manakala pembentuk UU menentukan suatu undang-undang dengan tujuan tertentu dan ada dua jalan yang sama berkonsekuensi menimbulkan kerugian bagi hak dan kebebasan orang lain, maka hendaknya dipilih jalan yang paling minim terjadinya kerugian bagi hak dan kebebasan.
Dengan begitu, jika suatu ketika pembentuk UU terbukti memilih jalan yang potensi kerugiannya lebih besar dari jalan lainnya.
Maka terhadap pilihan pembentuk UU tersebut dapat dikatakan melanggar prinsip proporsionalitas dan dalam hal ini dapat dinyatakan inskonstitusional.
Kekuasaan dalam suatu organisasi dapat diperoleh berdasarkan legitimasi religius, legitimasi ideologis eliter atau pun legitimasi pragmatis.
Namun kekuasaan berdasarkan legitimasi-legitimasi tersebut dengan sendirinya mengingkari kesamaan dan kesederajatan manusia, karena mengklaim kedudukan lebih tinggi sekelompok manusia dari manusia lainnya hal ini memicu adanya pelanggaran HAM.
Salah satu faktor yang dapat mencerminkan bahwa suatu negara dapat dinyatakan sebagai negara hukum apabila dalam penegakkan Hak Asasi Manusianya bisa ditegakkan karena seyogyanya negara hukum tidak dapat terlepas dengan perkembangan Hak Asasi Manusia.
Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diatur terkait penegakkan Hak Asasi Manusia sebagai cerminan dari negara hukum.
Hal itu juga dilakukan oleh sebagian besar negara-negara di dunia untuk mewujudkan penegakkan HAM.
Badan Internasional yakni Perserikaan Bangsa-Bangsa dalam resolusi PBB No. 2017 (III) dijadikan dasar landasan bahwa diakuinnya Hak Asasi Manusia di dunia Internasional sejak tahun 1948.
Adapun berdasarkan resolusi tersebut negara-negara yang tergabung anggota PBB mendeklarasikan nilai-nilai HAM saat ini menjadi “a common standard of achievement for all people and all nation”.
Perjanjian atau piagam Universal Declaratiom of Human Rights (UDHR) perlu dibuatkan atau dituangkan dalam bentuk perjanjian unilateral agar dapat mengikat secara yuridis tidak hanya mengikat secara moral.
Salah satu instrument HAM Internasional yang diratifikasi oleh Negara Indonesia dan juga oleh negara-negara di dunia yang mengikatnya yakni salah satunya International Convenant on Civil and Political Rights.
Dalam General Comment No.29 on Article 4 of ICCPR dalam Komite PBB tentang HAM memberikan syarat terdapat hal mendasar yang harus dipenuhi untuk membatasi Hak Asasi Manusia.
Secara konsepsional, setiap orang sejak sebelum kelahirannya memiliki hak dan kewajiban yang hakiki sebagai manusia.
Kewajiban kewajiban tersebut tertuang dalam Pasal 28J ayat (1) UUD 1945, yang menentukan bahwa setiap orang wajib menghormati HAM orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
UUD 1945 sendiri memberikan legitimasi kepada negara – melalui lembaga pembentuk undang-undang.
Untuk melakukan pembatasan terhadap penggunaan hak dan kebebasan setiap orang dengan undang-undang.
Hal ini dimaksudkan semata-mata untuk menjamin serta menghormati hak dan kebebasan orang lain, dan demi tuntutan yang adil berdasarkan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam masyarakat yang demokratis.
Kewenangan pembatasan sebagaimana diatur dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 dan juga Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 menjadi penyebab munculnya polemik dalam menentukan konstitusionalitas UUD 1945 dalam pemberian pembatasan HAM.
Kunjungi laman berita hukum terpilih yang disajikan melalui website Sah.co.id. Baca berita terbaru lainnya dan kunjungi juga website Sah.co.id atau bisa hubungi WA 0856 2160 034 untuk informasi pengurusan legalitas usaha serta pembuatan izin HAKI termasuk pendaftaran hak cipta. Sehingga, tidak perlu khawatir dalam menjalankan aktivitas lembaga/usaha.
Source:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Bisariyadi, et.all, “Penafsiran Konstitusi Dalam Pengujian Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar”, Laporan Hasil Penelitian, Pusat Penelitian, Pengkajian Perkara dan Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (P4TIK) Tahun 2016, h. 31-33.
Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, (Jakarta; PT Gramedia Pustaka Utama, 1999), hal. 30 – 66.
Asrun, Andi Muhammad. “Hak Asasi Manusia Dalam Kerangka Negara Hukum: Catatan Perjuangan di Mahkamah Konstitusi.” Jurnal Cita Hukum 4, no. 1 (2016).
Matompo, Osgar S. “Pembatasan Terhadap Hak Asasi Manusia Dalam Prespektif Keadaan Darurat.” Jurnal media hukum 21, no. 1 (2014): 16.
International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)
Handayani, Y. “Pengaturan Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia dan Konstitusi Amerika Serikat”. Jurnal Rechtsvinding Media Pembinaan Hukum Nasional. (2014)